Showing posts with label Pencarian akan singa salju. Show all posts
Showing posts with label Pencarian akan singa salju. Show all posts

Wednesday, June 17, 2009

Ballad of the Dharma Doctor


http://www.urbandharma.org/udharma9/doctor.html

Ballada tentang si Dokter Dharma
Oleh: Rev. Heng Sure

Saya pernah berpikir ingin menjadi seorang dokter terbaik yang ada di dunia,
Saya akan menghilangkan segala penyakit dengan tangan penyembuhku yang ampuh.
Saya melihat ada demikian banyak penderitaan dan terus bertanya-tanya mengapa
Kita terus mengkhawatirkan kesehatan diri dan tetap saja pada akhirnya mati?

Saya menanyakan hal ini ke kiri dan juga ke kanan
Dari mana kita sebenarnya berasal? Pada kematian ke mana kita akan pergi?
Ada yang mengatakan padaku, “Sang Buddha telah menjawabnya 3000 tahun yang lalu,
Pergi dan tanyakanlah kepada Dokter Dharma tentang semua yang ingin Anda ketahui.

”Saya menemukan biara tersebut dan seorang biarawan dengan matanya yang dipenuhi kegembiraan
“Apa itu sakit?” Saya bertanya kepadanya, “Mengapa orang mati?”
“Segalanya adalah tidak permanen,” Ia berkata, “Kamu akan menemukan bahwa,
Lahir dan mati adalah penyakit yang besar. Segalanya adalah bermula dari pikiran.”

“Yang dapat menyakiti adalah sebuah pikiran yang jahat, “ katanya, “ adalah apa yang kita katakan dan lakukan.
“Ia disebut hukum karma. Apa yang anda berikan ke luar akan kembali kepada dirimu.
Sebagaimana benihnya, demikianlah buahnya, seperti penyebab sebagai pangkal dari akibatnya.
Jadi saat melanggar aturan, Anda telah menggantungkan sebuah tali ke lehermu.”

“Jika Anda membunuh, mencuri, asusila, mabok dan berbohong,
Anda akan dilahirkan kembali sampai semua karmamu dimurnikan.
Walaupun ragamu mati, penderitaanmu tak akan berakhir.
Sampai hutang karmamu dibayar, Anda akan terus mendapatkan yang baru.

Walau kesadaran telah meninggalkan kantung kain yang rentan ini
Sampai kita membersihkan racun bertiga, kita akan terus dilahirkan kembali.
Bagaimana kami dapat menghentikan kejahatan dan sebaliknya melakukan kebaikan?
Akhirilah racun bertiga, demikian Guru Dharma mengatakan.

Racun bertiga adalah keserakahan dan kebencian dan kebodohan
Keserakahan akan kekayaan dan sex dan ketenaran dan makanan dan tidur, katanya
Dengan kelima nafsu tidak terpenuhi pikiran yang marah akan muncul.
Dan dengan bodohnya kita melanggar aturan; dan semua sakit bermula di sini.”

Mahluk hidup suka berbuat yang tidak seharusnya, kebiasaan kita sulit ditaklukkan.
Dokter telah memberi kita obat yang kita selalu lupa makan.
Sang Buddha telah mengingatkan kita mnegambil jalan yang berbahaya,
Kita menganggukkan kepala mengatakan telah mengerti, tapi tetap juga mengambil arah yang sama.

Sang Buddha meninggalkan tiga obat untuk kita pakai
Sila untuk mengobati pikiran yang serakah, Samadhi untuk menaklukkan kebencian,
Kearifan adalah obat yang paling sempurna untuk menyembuhkan kebodohan
Itulah cara Sang Dokter Dharma mengakhiri racun bertiga.

Sila adalah semua aturan yang kita pakai untuk mengawasi energi kita.
Samadhi artinya berkonsentrasi. Dan Kearifan membebaskan kita.
Jadi pertahankan aturan dan berkonsentrasi, maka kearifan akan termanifestasi.
Saat karma telah dimurnikan, anda telah mengakhiri lahir dan mati.

Buddha Dharma adalah tonik, obat super.
Adalah bagaikan panacea, tumbuhan penyembuh segalanya.
Ia membawakan kearifan dan welas kasih terhadap semua makhluk.
Itulah kesehatan sempurna yang diberikan Buddha Dharma.

Buddha adalah raja penyembuh yang menyembuhkan semua penyakit kita
Tetapi ia tidak menjual racikan obat dan tidak mengambil bayaran.
ObatNya adalah Dharma, yang tidak di peroleh dari apotik.
Dokter Dharma hanya menunjukkan caranya dan kemudian berkata, “Sembuhkan dirimu sendiri.”

Dan demikianlah semenjak hari saya bertemu dengan biarawan tersebut hidup baruku-pun dimulai.
Sebelumnya saya ingin mengobati badan, kini saya berubah rencana.
Saya akan membina di dalam jalan dan meninggalkan semua nafsu keinginan di belakang.
Saya akan menyembuhkan racun bertiga di dalam pikiranku sendiri.

© Rev.HengSure2004 - All rights reserved.

Pencarian akan singa salju - Pema Tsering

Pema Tsering

Petualangan, pencarian dan tugas Dharma memungkinkan kami bertemu. Bagi saya, pertemuan ini adalah jodoh mulia. Pada saat itu Pema bertugas sebagai seorang guru bahasa Tibet di Sera Je Secondary School, di Bylaguppe, India selatan, pada pertengahan 2002.

Penampilan luar dia nyentrik, sangat kurus, dan rambut ikal panjang sepundak. Walau telah tinggal di India Selatan, kelihatannya dia belum juga membiasakan diri untuk cukup sering keramas.

Kami berkomunikasi dalam bahasa Mandarin, walau dialek kami berbeda, paling tidak masih nyambung. Walau hanya bertemu beberapa kali, tapi banyak pemikiran yang telah kami saling bagi dan diskusikan. Saya tidak tahu bagaimana dia menempatkan hubungan kami, tapi saya banyak belajar dan dia dapat dikatakan adalah guru saya (yang kedua) mengenai kultur, kebudayaan, idealisme dan agama masyarakat Tibet.

Latar belakang keluarganya saya tidak banyak tahu, saya hanya tahu Pema berasal dari Amdo, Timur laut Tibet. Sebuah dataran tinggi padang rumput…..Pertemuan kami yang hanya beberapa kali tersebut memberi kesan kepada saya bahwa ia terpelajar, mempunyai bakat sastra dan banyak menulis.

Dari pembicaraan dan diskusi kami, saya merasakan idealismenya, semangat yang mendalam untuk membantu bangsanya. Dia terlahir sebagai generasi yang menyaksikan bangsa Tibet yang semakin kehilangan jati dirinya, yang semakin menjadi minoritas di tanah sendiri, terhimpit oleh bangsa Han dan Huei (Uigur), yang tidak berdaya dalam menghadapi tangan besi pemerintahan komunis Cina, tidak mendapatkan kemerdekaan untuk menjalankan agama dan kebudayaan sendiri.

…. Pema galau dan terus bergejolak Pema akhirnya memutuskan, untuk meninggalkan tanah kelahirannya, berpisah dari orang tua dan saudara yang dikasihi. Dia pergi untuk menemui Pimpinan besarnya, untuk menemaniNya dalam memperjuangkan nasib rakyat Tibet, berusaha mencari solusi terhadap semua kegetiran yang dihadapi Tibet. Dan di mulailah perjalanan berat tersebut, perjalanan keluar dar Tibet, melewati Himalaya, turun ke India menemui YM Dalai lama.

Perjalanan darat yang sangat berat, jalan kaki menerobos perbatasan. Dari beberapa teman Tibet yang lain, yang juga telah melewati perjalanan yang sama, saya mendapat tahu bahwa perjalanan seperti ini sangat sulit. Harus berhadapan dengan medan yang sangat berat dan alam yang tidak bersahabat. Gunung terjal, salju di beberapa titik yang mencapai pinggang, intaian-kejaran dan tembakan tentara Cina di belakang dan korupnya polisi Nepal di depan. Banyak yang tertangkap, ada juga yang tertembak.

Setelah melapor ke kantor pengungsi di Kathmandu, akhirnya Pema diizinkan dan diatur untuk menuju ke Dharamsala, McLeodganj. Pema bertemu Dalai Lama dan kemudian mulai berkarya memperjuangkan idealismenya. Pema menjadi wartawan, menulis artikel, mentranskrip pembicaraan politik maupun dharma bagi berbagai Lama utama, termasuk YM Dalai Lama.

Namun ini semua tidak memuaskan Pema. (dari apa yang Pema sampaikan kepada saya) Ia merasa Pemerintahan Tibet di pengasingan tidak melakukan cukup atau tidak berdaya untuk membantu Tibet. Sementara di India, Ia menjadi saksi generasi baru Tibet yang dilahirkan di India, sangat cepat kehilangan jati dirinya. Mereka lebih berbicara bahasa India melebihi bahasa leluhurnya. Saya turut menjadi saksi tidak ada diantara remaja Tibet di pengasingan yang mengenakan pakaian tradisional mereka, mereka kebarat-baratan. Sungguh krisis identitas yang mengkhawatirkan.

Kemungkinan Pema juga telah menyaksikan dan dikecewakan oleh persaingan internal dan korupsi dalam tubuh pemerintahan Tibet di pengasingan.

Pema kemudian memilih untuk turun ke Selatan, ke Bylaguppe, yang merupakan Tibetan settlement terbesar di selatan. Sera Me dan Je dengan masing-masing dua ribuan lama dan Namdroling dengan enam ribuan siswa, dan masih ada puluhan monastery lainnya. Dan ada belasan Camp pengungsian bagi rakyat biasa.

Di sana, Pema memperdalam dan menggali lebih jauh tentang Budhisme, dan yang terpenting mengajar bahasa Tibet. Dengan mengajar bahas Tibet, Pema sangat berharap paling tidak dapat memperlambat erosi kultur dan krisis identitas yang terjadi.

...........

Beberapa saat tidak saling menghubungi, Pema tiba-tiba memberi kabar bahwa dia memilih untuk mengajar di Bomdila, Arunachal Pradesh. Arunachal Pradesh adalah wilayah Tibet yang pada geo politik sekarang di bawah kekuasaan India. Namun ini tidak diakui PRChina.

Sebagai sahabat, saya memaknai pilihannya sebagai bentuk kehendak untuk melayani dan membantu suku Mompa, salah satu suku Tibet di perbatasan dengan Bhutan.

Namun kabar terakhir yang kami terima dari rekan yang tinggal di perbatasan Assam-Arunachal adalah Pema telah tiada. Ia sakit, dan tubuh lemahnya yang telah dalam jangka waktu lama tidak terawat tidak kuasa untuk melawan udara beku di Bomdila.

Saya tidak ingin mempercayai kabar buruk ini.Namun hidup toh adalah perjalanan, dan paling tidak kita pernah bersua, dan saling memberi semangat..Selamat Jalan Sahabat. Lanjutkan PerjuanganMu, Lanjutkan PerjalananMu.

“In Search of Snow lion” adalah judul buku kumpulan puisi dan prosa yang Pema tulis. Buku tersebut adalah dalam bahasa Tibet. Satu-satunya karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah Puisi “In search of Snowlion” ini.

Tanggal 24 September 2002 Pema memberikan satu copy buku ini kepada saya saat mengantarkan saya pulang dari Bylaguppe. Buku ini kini tersimpan di perpustakaan Bangalore.

Sebelum Pema pergi ke Bomdila, Ia menyempatkan diri untuk mampir ke monastery kami di Bangalore, mempersembahkan sebuah Rupang Buddha kecil, yang Pema katakan adalah pemberian langsung dari Dalai Lama. Ia mengatakan itu adalah tanda persahabatan dan terima kasih atas inisiasi dalam tradisi yang kami ikuti, yang juga telah Ia terima.

Tuesday, June 16, 2009

Pencarian akan singa salju.


"Pencarian akan Singa Salju"
oleh Pema Tsering

===Sejenak saya teringat seorang sahabat baik, Pema Tsering, yang kini telah “jauh”, melanjutkan pencarianNya. Karyanya “In Search of Snowlion” hingga kini masih terus membakar kesadaranku. Saya tidak akan pernah lagi dapat meminta ijin untuk menterjemahkan karya ini, namun saya yakin Dia akan berkenan saya saling berbagi dengan semua yang beruntung.


“PENCARIAN AKAN SINGA SALJU” Dalam bahasa Tibet oleh: Pema Tsering,
Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Alyson Prude.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: September 2002

“Singa Salju adalah satu-satunya makhluk yang mampu bertahan hidup di ketinggian Himalaya yang abadi diselimuti salju”, demikian kakek-ku selalu berkata. Dalam bukunya ,’Stories from the Himalayas’, peneliti Gendun Choepel menyatakan bahwa Mitos Singa Salju hanyalah singa biasa yang yang berhabitat di hutan gunung bersalju. Singa Salju yang terkenal tersebut, demikian kata Choepel, hanya ada dalam mitos dan bukanlah makhluk yang sesungguhnya. Tetap saja saya lebih percaya kata Kakek, dan memulai pencarian akan Singa Salju.

Saya percaya akan Singa Salju.
Dan saya pergi dalam pencarian akannya.
Mentari menggapai puncak gunung dan selanjutnya sinarnya turun membanjiri ke semua sisi.
Saya memulai pendakian dari satu tebing di mana cahaya mentari tidak demikian terik.
Walau berjalan pada sisi bayangan sehingga mataku tidak dibutakan, namun tiba-tiba longsoran salju jatuh bergulung, menyapu menjatuhkan saya.
Seluruh tubuhku penuh memar, dan gigitan angin dingin menusuk hingga ke tulang.
Saya berdiri dan melanjutkan perjalanan.

Saya percaya akan Singa Salju.
Dan saya pergi dalam pencarian akannya.
Suatu bentuk surai singa muncul dihadapanku.
Saat mendekat, saya baru menyadari bahwa bukan Singa Salju melainkan seorang pertapa gunung.
“Keberadaan dari Singa Salju dapat ditelusuri hingga ajaran dari Sang Buddha,” dia memberi-tahukan padaku. ”Tetapi saat ini semua Singa Salju tengah beristirahat, dan mengganggu mereka adalah suatu karma yang buruk. Ini,….” Dia berkata sambil memberikan padaku suatu tasbih tua terbuat dari kayu cendana. “Ini akan melindungimu dalam perjalananmu pulang. Dengannya tidak ada yang perlu ditakuti.”
Menggelengkan kepala, saya menolak.
Saya tidak menginginkan suatu jalan yang mudah.

Saya percaya akan Singa Salju.
Dan saya pergi dalam pencarian akannya.
Tiba-tiba bumi berdentum keras, jelas hentakan kaki seekor binatang buas yang besar.
Jejak kaki Singa Salju yang diharapkan ternyata adalah milik si raksasa yeti.
Melihatnya saja telah membuatku terpaku tidak mampu bergerak.
Yeti menggapaiku, merobek tubuhku menjadi dua.
Ia memangsa kedua kakiku dan melempar bagian tubuhku yang lain ke dalam suatu goa di tengah salju.
Setelah menutupi mulut goa dengan batu besar, ia menghilang.
Menggeretakkan gigi, saya berjuang berjam-jam dalam sakit yang dahsyat.
Akhirnya saya berhasil menggali suatu celah sempit, melaluinya saya membebaskan diri.

Saya percaya akan Singa Salju.
Dan saya pergi dalam pencarian akannya.
Dengan satu lengan memegang lukaku, saya menyeret tubuhku.
Saat telah mendekati puncak, saya melihat bahwa pendakian ini terputus oleh jurang tidak berdasar.
Sepenuhnya lelah, saya jatuh terlentang di atas salju, menatap ke langit biru.
Tinggi di atas, seekor burung elang terbang berputar.
Ia mulai terbang merendah, saya mulai bertanya-tanya, mungkin tubuhku adalah korban persembahan.
“Ah, burung,” ratapku, “Terbangkan aku menyebrangi jurang, dan akan kupersembahkan dagingku untukmu.”
Tiba di sisi seberang, Sang Elang langsung menyantap lenganku hanya dengan sekali hirup. Menyeret seluruh tubuhku dengan dagu, saya melanjutkan pencarian.

Saya percaya akan Singa Salju.
Dan saya pergi dalam pencarian akannya.
Menoleh ke belakang, saya melihat bahwa darahku telah merubah warna gunung.
Peluhku mengalir membentuk suatu danau di kaki gunung, yang mana dibekukan oleh angin dingin sehingga seolah gunung telah tumbuh membesar.

Saya percaya akan Singa Salju.
Dan saya pergi dalam pencarian akannya.
Saat saya telah dekat ke puncak, Iblis dengan cakar besi merobek dan merengkuh keluar jantungku.
“Kamu bukan satu-satunya orang yang dalam pencarian akan Singa Salju”, katanya. “Ribuan dan ribuan yang lain telah datang mendahuluimu dan tidak ada yang mampu melewati daerah kekuasaanku.” Saya memohon kepada Sang Iblis untuk memberikan tiga hari kepada jantung-ku agar saya dapat memastikan apakah Singa Salju benar-benar ada. Walaupun penampilannya buas, ia sebenarnya jauh lebih ramah dibandingkan dengan kebanyakan manusia, saya berterima kasih padanya.

Saya percaya akan Singa Salju.
Dan saya pergi dalam pencarian akannya.
Akhirnya saya mencapai puncak gunung, tetapi saya tidak berhasil menemukan Singa Salju kakek-ku.
Selama dua hari saya lanjutkan pencarian tanpa henti yang sia-sia.
Saya hanya mempunyai satu hari yang terakhir sebelum akhirnya nafasku akan terhenti.
Dengan punggungku menghadap bumi, saya memandang ke angkasa.
Mentari dan rembulan keduanya terlihat bersisian di sampingku, dan di bawah mereka, bintang-bintang dan awan terlihat berterbangan dalam orbitnya masing-masing.
Teringat akan Kakekku, kata-kataNya yang terakhir mengiang di telingaku, “Pada puncak tertinggi dari gunung, hanya ada Satu Makhluk yang dapat bertahan, hanya Satu Makhluk.
Hanya satu…. Gunung salju…… Gununnggg……. Saljuuuu….”
“Kakek! Saya telah temukan Si Singa Salju!!!! Saya menemukannya! Saya berhasil! Sungguh!”
Tiba-tiba saya tertawa bagaikan orang gila.
Suatu perasaan kemenangan membanjiri seluruh jiwa dan ragaku.
Saya terbangun dari mimpiKu.