Friday, July 20, 2012

Letter on the Kitchen Table


(by John Ptacek)

Dear Ego,

Kita putus.
Tidak perlu lagi ada diskusi,
tidak usah lagi saling mendengarkan,
dan yang pasti tidak lagi saling menuding.
Kita telah berakhir.

Ini bukan keputusan emosional.
Sebenarnya juga tidak terasa sebagai keputusan.
Kita telah menjauh akhir-akhir ini; dan yang penting, saya telah menyadari perbedaan kita.
Apa yang selama ini menyatukan kita, kini telah tiada.

Tidak perlu lagi kamu menebar pesona.
Tidak usah repot mencoba mengisi kepalaku dengan pikiran tentang betapa hebatnya kita saat bersama atau bagaimana aku akan merasa kehilangan tanpa dirimu.
Kamu tidak lagi memiliki kekuasaan atas diriku.
Aku telah melihatmu dengan jelas sekarang, utuh, luar-dalam,
Memperhatikan dirimu sekali lagi, sungguh tidak ada apa-apa.

Butuh waktu yang panjang untuk memahamimu.
Sama seperti pasangan tidak bahagia lainnya yang saya kenal, kita terhanyut memasuki dunia kecil milik kita berdua; dan selama ini, saya malah menganggapnya sebagai realita.
Bila saya diminta untuk menjelaskan kapan pergeseran tersebut mulai terjadi, saya tidak ingat, rasanya sudah sangat lama.
Tetapi samar-samar saya masih mengingat bagaimana kehidupanku sebelum bertemu dirimu.
Sebenarnya juga bukan ingatan, lebih tepatnya adalah perasaan; Sebuah perasaan bebas merdeka.
Tetapi bukan rasa bebas seperti “memiliki seluruh akhir minggu tanpa perlu melakukan tugas atau memenuhi janji apapun”.
Melainkan KEBEBASAN yang sama sekali berbeda.
Lebih seperti kelegaan-tak terbatas, tidak terkungkung.
Sama seperti anak-anak sebelum kepala mereka dijejali segala macam omong-kosong duniawi,
sebelum rasa ketertakjuban mereka menghilang,
sebelum mereka mulai meniru perilaku jiwa-jiwa bermasalah di sekitar mereka.

Saya dapat menikmati perasaan kelegaan tersebut sekarang juga saat saya menutup mata dan melupakan bahwa saya mempunyai sebuah tubuh.
Rasanya bagaikan saya bukan lagi seseorang, saya menyatu dengan ruang yang berlangsung selamanya.

Saya tidak menuntutmu untuk memahami semua ini. Mustahil.
Kamu selalu mendefenisikan segala sesuatu, dan memilahnya ke dalam kategori-kategori.
Ini sungguh sulit untuk dijelaskan, tidak terungkapkan dengan kata-kata yang kuketahui.
Saya sadar, kamu benci apa yang saya katakan, benci bila saya menentang pandanganmu yang kaku.
Kamu biasanya akan diam dengan kening yang berkernyit.
Dulu saya salah menafsirkan sikap diammu.
Saya akan merasa sangat bersalah, malah merasa diri sendiri gila, hanya karena mengekspresikan diri.
Sekarang sikap diam-mu memberi-tahu saya sesuatu yang sama sekali berbeda, saya diberi tahu bahwa saya telah mengancam-mu.
Ia juga memberiathu saya sesuatu yang lain, yang sangat penting. Saya menjadi tahu bahwa saya mampu hidup sendiri.
Saat suaramu menghilang, SUARA-ku muncul kembali.
Ternyata ia ada, ia mungkin selalu ada sepanjang waktu, kamu yang selalu membuatnya tenggelam.
Ia adalah suara yang jelas, yang kuat.
Saya akan baik-baik saja tanpa kamu.

Teman-teman saya menganggap saya sudah gila.
Mereka bertanya-tanya apa yang akan saya lakukan tanpa dirimu.
Mereka sudah melihat sendiri apa yang terjadi dengan pasang surutnya hubungan kita, semua perilaku kita yang aneh dan tidak pantas, tetapi tetap saja mereka mempertanyakan keputusanku.
Ini benar-benar membuat saya bimbang, sampai saya mengingatkan diriku tentang sulitnya sebuah hubungan yang tidak sehat.
Yang sulit adalah kamu tidak menganggap hubungan kita tidak sehat.
Kamu sudah menerima bahwa adalah biasa untuk hidup menderita sepanjang waktu.
Bulan berlalu, tahun berganti, kamu katakan, ‘keadaan akan membaik’. Kita akan bereskan hal ini.
Tetapi kenyataannya tidak pernah membaik. Karena memang tak bisa.
Sebuah hubungan yang telah sakit seperti kita tidak akan pernah membaik, keadaan hanya akan menjadi semakin buruk.

Dunia itu kecil, pasti kita akan suatu kali bertemu lagi.
Jadi lebih cocok saya katakan ‘sampai jumpa’ dan bukannya ‘selamat tinggal’.
Asalkan kita mempertahankan sebuah jarak yang pantas, segalanya akan baik-baik saja.
Saya harus cukup jauh darimu untuk dapat mendengarkan suara saya sendiri.
Saya sebenarnya tidak keberatan sekali-kali ditemani oleh-mu, seperti saat memperbaiki wastafel atau packing mempersiapkan perjalanan. Kita biasanya akur pada saat-saat seperti itu.
Tapi mulai saat ini, kamu membutuhkan undangan. Jangan datang begitu saja. Kamu kan sudah tidak tinggal di sini lagi.

Silahkan kemas barang-barang–mu  dan tinggalkan kunci di atas meja.
Ketika saya pulang nanti, yang saya ingin dengar adalah ketenangan tanpa dirimu.
Biarkan saya melebur ke dalam keheningan tak terbatas, melupakan dimana saya bermula dan harus berakhir.
Kamu suatu kali pernah bilang padaku, bahwa saya tidak akan menjadi apa-apa tanpamu. Ingat?
Ok, saya ingin sebuah catatan positif mengakhiri semua ini dengan mengatakan kamu benar.
Tanpa kamu, saya bukan siapa-siapa, sama sekali bukan apa-apa.
Kalau bukan karena semua neraka yang harus saya lalui karena-mu, saya tidak akan pernah tiba pada kesimpulan penting ini.
Jadi terima-kasih yang sebesar-besarnya, walau mungkin Kamu tidak memahami apa yang saya katakan .

Love always,

John Ptacek

1 comment:

Anonymous said...

long time no see... kemaren ada yg bilang bahwa pengetahuan itu memang layaknya untuk dibagikan bukan untuk dipendam hehehe... pengetahuannya kayaknya uda lama ga keluar dr driver bernama otak tuh hehe waiting for your update sir...