Tuesday, August 25, 2009

Saya sudah terbiasa tiwul

Demikianlah pernah saya dengar cerita,
tentang sepasang kakak adik yang saling sayang, saling peduli.


Si Adik, berpendidikan lumayan tinggi, dan kini tinggal di kota besar,
bekerja sebagai tangan kanan dari seorang juragan kaya raya,
hidup berkecukupan dari kerja yang ringan.

Si Adik memikirkan kakaknya yang masih tinggal di desa,
yang telah bekerja keras hanya untuk memungkinkannya mengecap pendidikan,
Si Adik berharap Sang Kakak mau pindah ke kota,
akan dia usahakan sebuah pekerjaan yang sangat layak dan menjanjikan.

Pulanglah si Adik ke desa menemui Kakaknya berusaha meyakinkan, :
"Kak...., ikutlah bersamaku, untuk tinggal di kota,
dengan koneksi dan kedudukan saya sekarang,
Kakak bisa memilih pekerjaan apa yang sesuai, yang lebih ringan, yang lebih menjanjikan.
Asalkan punya pekerjaan tetap, sisanya bisa dibeli dengan uang yang dihasilkan.
Di kota kehidupannya sangat sibuk, tapi yang dihasilkan setimpal dengan waktu yang dikorbankan.
Walau sementara tidak sering bertemu keluarga, tapi bila satu saat nanti pensiun kan semuanya menjadi serba mudah.
Memang saya sendiri juga masih ada Boss,
tapi asal pintar menyenangkan dirinya,
Kakak tidak perlu lagi makan nasi tiwul seperti sekarang."


Si Kakak tidak langsung menjawab,
sorot matanya memandang jauh,
seolah mencari penjelasan yang mudah dipahami bagi adiknya, :
"Semua pekerjaan adalah sederajat,
tanpa ada kita yang bertani, apa yang harus dimakan oleh orang kota?
Memang di sini jarang pegang uang,
kan alam sudah berbaik hati menyediakan berbagai keperluan sehari-hari.
Iya, bertani adalah pekerjaan berat,
tapi ada hasil lain selain uang dalam bentuk kesehatan, kekuatan, dan kedekatan dengan alam.
Saya harus ketemu setiap hari dengan keluarga,
bercengkerama dan saling berbagi cerita,
saya tidak bisa menunggu sampai tua untuk melakukannya.
Dik....., saya sudah terbiasa makan nasi tiwul,
rasanya saya tidak perlu lagi meremehkan diri hanya untuk menyenang-nyenangkan majikan."


No comments: