Wednesday, June 17, 2009

Pencarian akan singa salju - Pema Tsering

Pema Tsering

Petualangan, pencarian dan tugas Dharma memungkinkan kami bertemu. Bagi saya, pertemuan ini adalah jodoh mulia. Pada saat itu Pema bertugas sebagai seorang guru bahasa Tibet di Sera Je Secondary School, di Bylaguppe, India selatan, pada pertengahan 2002.

Penampilan luar dia nyentrik, sangat kurus, dan rambut ikal panjang sepundak. Walau telah tinggal di India Selatan, kelihatannya dia belum juga membiasakan diri untuk cukup sering keramas.

Kami berkomunikasi dalam bahasa Mandarin, walau dialek kami berbeda, paling tidak masih nyambung. Walau hanya bertemu beberapa kali, tapi banyak pemikiran yang telah kami saling bagi dan diskusikan. Saya tidak tahu bagaimana dia menempatkan hubungan kami, tapi saya banyak belajar dan dia dapat dikatakan adalah guru saya (yang kedua) mengenai kultur, kebudayaan, idealisme dan agama masyarakat Tibet.

Latar belakang keluarganya saya tidak banyak tahu, saya hanya tahu Pema berasal dari Amdo, Timur laut Tibet. Sebuah dataran tinggi padang rumput…..Pertemuan kami yang hanya beberapa kali tersebut memberi kesan kepada saya bahwa ia terpelajar, mempunyai bakat sastra dan banyak menulis.

Dari pembicaraan dan diskusi kami, saya merasakan idealismenya, semangat yang mendalam untuk membantu bangsanya. Dia terlahir sebagai generasi yang menyaksikan bangsa Tibet yang semakin kehilangan jati dirinya, yang semakin menjadi minoritas di tanah sendiri, terhimpit oleh bangsa Han dan Huei (Uigur), yang tidak berdaya dalam menghadapi tangan besi pemerintahan komunis Cina, tidak mendapatkan kemerdekaan untuk menjalankan agama dan kebudayaan sendiri.

…. Pema galau dan terus bergejolak Pema akhirnya memutuskan, untuk meninggalkan tanah kelahirannya, berpisah dari orang tua dan saudara yang dikasihi. Dia pergi untuk menemui Pimpinan besarnya, untuk menemaniNya dalam memperjuangkan nasib rakyat Tibet, berusaha mencari solusi terhadap semua kegetiran yang dihadapi Tibet. Dan di mulailah perjalanan berat tersebut, perjalanan keluar dar Tibet, melewati Himalaya, turun ke India menemui YM Dalai lama.

Perjalanan darat yang sangat berat, jalan kaki menerobos perbatasan. Dari beberapa teman Tibet yang lain, yang juga telah melewati perjalanan yang sama, saya mendapat tahu bahwa perjalanan seperti ini sangat sulit. Harus berhadapan dengan medan yang sangat berat dan alam yang tidak bersahabat. Gunung terjal, salju di beberapa titik yang mencapai pinggang, intaian-kejaran dan tembakan tentara Cina di belakang dan korupnya polisi Nepal di depan. Banyak yang tertangkap, ada juga yang tertembak.

Setelah melapor ke kantor pengungsi di Kathmandu, akhirnya Pema diizinkan dan diatur untuk menuju ke Dharamsala, McLeodganj. Pema bertemu Dalai Lama dan kemudian mulai berkarya memperjuangkan idealismenya. Pema menjadi wartawan, menulis artikel, mentranskrip pembicaraan politik maupun dharma bagi berbagai Lama utama, termasuk YM Dalai Lama.

Namun ini semua tidak memuaskan Pema. (dari apa yang Pema sampaikan kepada saya) Ia merasa Pemerintahan Tibet di pengasingan tidak melakukan cukup atau tidak berdaya untuk membantu Tibet. Sementara di India, Ia menjadi saksi generasi baru Tibet yang dilahirkan di India, sangat cepat kehilangan jati dirinya. Mereka lebih berbicara bahasa India melebihi bahasa leluhurnya. Saya turut menjadi saksi tidak ada diantara remaja Tibet di pengasingan yang mengenakan pakaian tradisional mereka, mereka kebarat-baratan. Sungguh krisis identitas yang mengkhawatirkan.

Kemungkinan Pema juga telah menyaksikan dan dikecewakan oleh persaingan internal dan korupsi dalam tubuh pemerintahan Tibet di pengasingan.

Pema kemudian memilih untuk turun ke Selatan, ke Bylaguppe, yang merupakan Tibetan settlement terbesar di selatan. Sera Me dan Je dengan masing-masing dua ribuan lama dan Namdroling dengan enam ribuan siswa, dan masih ada puluhan monastery lainnya. Dan ada belasan Camp pengungsian bagi rakyat biasa.

Di sana, Pema memperdalam dan menggali lebih jauh tentang Budhisme, dan yang terpenting mengajar bahasa Tibet. Dengan mengajar bahas Tibet, Pema sangat berharap paling tidak dapat memperlambat erosi kultur dan krisis identitas yang terjadi.

...........

Beberapa saat tidak saling menghubungi, Pema tiba-tiba memberi kabar bahwa dia memilih untuk mengajar di Bomdila, Arunachal Pradesh. Arunachal Pradesh adalah wilayah Tibet yang pada geo politik sekarang di bawah kekuasaan India. Namun ini tidak diakui PRChina.

Sebagai sahabat, saya memaknai pilihannya sebagai bentuk kehendak untuk melayani dan membantu suku Mompa, salah satu suku Tibet di perbatasan dengan Bhutan.

Namun kabar terakhir yang kami terima dari rekan yang tinggal di perbatasan Assam-Arunachal adalah Pema telah tiada. Ia sakit, dan tubuh lemahnya yang telah dalam jangka waktu lama tidak terawat tidak kuasa untuk melawan udara beku di Bomdila.

Saya tidak ingin mempercayai kabar buruk ini.Namun hidup toh adalah perjalanan, dan paling tidak kita pernah bersua, dan saling memberi semangat..Selamat Jalan Sahabat. Lanjutkan PerjuanganMu, Lanjutkan PerjalananMu.

“In Search of Snow lion” adalah judul buku kumpulan puisi dan prosa yang Pema tulis. Buku tersebut adalah dalam bahasa Tibet. Satu-satunya karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah Puisi “In search of Snowlion” ini.

Tanggal 24 September 2002 Pema memberikan satu copy buku ini kepada saya saat mengantarkan saya pulang dari Bylaguppe. Buku ini kini tersimpan di perpustakaan Bangalore.

Sebelum Pema pergi ke Bomdila, Ia menyempatkan diri untuk mampir ke monastery kami di Bangalore, mempersembahkan sebuah Rupang Buddha kecil, yang Pema katakan adalah pemberian langsung dari Dalai Lama. Ia mengatakan itu adalah tanda persahabatan dan terima kasih atas inisiasi dalam tradisi yang kami ikuti, yang juga telah Ia terima.

2 comments:

Anonymous said...

Thank's for introduce Pema to me.

Saat aku membaca tulisan ini, aku sedang dalam kebingungan untuk compiling percakapan terakhirku dengan uncle. aku benar-benar tidak memahami mengapa paradigma baru yang ditawarkan harus seperti itu. aku merasakan kejanggalan di dalamnya...

tapi saat membaca tulisan ini, aku baru menyadari mengapa paradigma baru tersebut berbentuk seperti itu.

Xie xie

TCH said...

Trims juga Ijoe..

Sebenarnya bukan paradigma baru juga..
it's a transforming, it's a quantum leap understanding.
Keseluruhan Mark 2 adalah tentang hal ini...

"The Sabbath was made for man, not man for the Sabbath. So the Son of Man is Lord even of the Sabbath." (2:27-28)

....
trims juga ya...